24 July 2009

To Prog Or Not To Prog

Written by Surjorimba Suroto dipublikasikan di majalah Sound Up

Seringkali kita berpikir bahwa setiap artis/ band progressive rock (progrock) sudah pasti selalu menghasilkan karya yang progresif. Jika tidak dalam pengertian progresivitas, setidaknya karyanya dapat digolongkan genre progresif. Tapi kita sama-sama tahu bahwa itu tidaklah selalu benar. Banyak artis progrock yang tidak demikian.

Lalu bagaimana dengan kondisi sebaliknya? Apakah artis/band pop tidak pernah menghasilkan karya progresif (baik progresivitas ataupun sebagai genre musik)? Apakah Madonna, Christina Aquilera atau Coldplay tidak pernah membuat musik progresif? Jawabannya bisa ya dan tidak. Tentu saja ini bisa memancing kontroversi. Tapi marilah kita coba melihatnya (atau mendengar) secara lebih seksama.

Apa sih sebenarnya syarat suatu musik dapat dikategorikan progresif? Jika dicari ke kamus manapun, mustahil jawabannya ditemukan. Anda bisa menanyakan kepada setiap individu, baik pengamat, pecinta ataupun pemusik. Jawabannya bisa beragam. Pernah dalam suatu forum diskusi di suatu milis progrock berbahasa Inggris, para anggotanya saling bertukar pikiran (dan juga berdebat). Hasilnya terjadilah suatu konsensus. Memang konsensus ini belum dibakukan, tapi setidaknya ini bisa kita jadikan panduan.

Menurut konsensus milis tsb, suatu karya dapat dikatakan progresif jika mengandung salah satu (lebih banyak lebih prog):

  1. Durasi rata-rata yang melebihi durasi lagu single (diatas 5 menit).
  2. Tema yang umumnya tentang mitos, fiksi ilmiah, lingkungan, keagungan Sang Pencipta, kritik sosial, dan lain sebagainya selain roman percintaan.
  3. Badan lagu yang dibagi kedalam beberapa bagian, dimana pada setiap bagiannya mengandung melodi yang berbeda, dan atau tekanan emosi yang berbeda, dan atau tempo yang berbeda, dan atau tema yang tidak saling berhubungan.
  4. Tempo lagu yang tidak mengikuti pakem 4/4
  5. Kadang menggabungkan secara harmonis lebih dari satu genre musik
  6. Walaupun pada awalnya menggabungkan musik pop atau rock dengan pyschadelic, dalam perkembangannya terdapat juga unsur jazz, etnik, klasik, dll.
  7. Terkadang ada solois atau alat instrument yang dominan
  8. Improvisasi menjadi struktur baku, sehingga pada saat dimainkan ulang komposisi menjadi tetap seperti semula.
  9. Suara manusia tidak sekedar menjadi vokal, melainkan juga berfungsi sebagai alat instrumen
  10. Beberapa bagian (atau seluruh) lagu dirangkai dalam satu tema/ konsep

Jika memperhatikan konsensus tsb di atas, kita akan merenungkan kembali pemahaman sebelumnya. Benarkah para artis non-prog tidak pernah menghasilkan karya yang progresif? Masih ragu? Mari kita mundur ke beberapa dekade yang lalu.

Saat Beatles menerbitkan album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band dan single Strawberry Fields Forever (keduanya tahun 1967) banyak penggemar dan pengamat terkaget-kaget dengan inovasi mereka. Pencapaian yang telah dilakukan Beatles seakan mendobrak pakem tradisional rock ‘n roll. Kuartet asal Liverpool ini berhasil membuat sebuah album konsep, menggabungkan beberapa genre ke dalam satu lagu (atau dikemas dalam satu album), tema lagu yang tidak lazim (untuk ukuran masa itu), dan yang paling penting adalah saratnya album ini dengan rekayasa teknologi studio rekaman. Sebuah lompatan besar, yang sebelumnya dirintis sejak album Rubber Soul (1965) dan Revolver (1966). Padahal kita sama-sama tahu, secara umum Beatles lebih senang menyebut dirinya band pop. Band asal USA yang menjadi saingan Beatles, The Beach Boys, sempat membuat album fenomenal Pet Sounds (1966) yang juga sarat dengan inovasi. Sayang mereka ‘kalah start’ dengan Beatles yang sudah lebih dulu merilis Rubber Soul.

Setelah Beatles dan Beach Boys, seakan hampir semua artis di daratan Amerika Utara dan Eropa tertantang untuk ‘berprogresif-ria’. Sebagian berusaha untuk bereksperimen, dan sebagian melanjutkan apa yang sudah Beatles dan Beach Boys lakukan. Pada masa itu (pasca 1967) industri berpihak pada genre progressive rock, seakan genre ini menjanjikan lahan subur. Banyak artis progrock lahir pada periode ini (Nice, Pink Floyd, Procol Harum, Moody Blues, King Crimson, dll).

Lalu bagaimana dengan nasib artis non-prog? Banyak yang ingin mengikuti jejak para pendahulunya. Siapa sih yang ngga kepingin inovatif atau kreatif? Tapi keadaan sedikit berbeda. Agaknya mereka sulit, atau enggan, atau mungkin tidak direkomendasikan oleh produser/ label rekaman untuk mengubah jatidiri menjadi artis prog. Namun saat itu menghasilkan suatu karya progresif seakan sudah menjadi trend/ bahasa gaul. Bagaimana tidak? Selama dekade ‘70an band progrock seperti Jethro Tull, Yes dan ELP senantiasa menjual jutaan keping album dan nyaris setiap konsernya sold-out.

Alhasil banyak di antara mereka yang menyisipkan satu-dua lagu prog dalam album pop atau rock mereka selama dekade ‘70an. Bisa jadi yang mereka lakukan sekedar iseng, mengekor, atau mencoba peruntungan. Katakanlah Billy Joel, Elton John, ABBA (album The Visitor), The Move, Supertramp, Chris de Burgh, Split Enz, Cat Stevens, Gino Vannelli (Brother to Brother dan Where Am I Going), Bee Gees, Rush (album 2112, Hemispheres dan Farewell to Kings), David Bowie, Klaatu (album Klaatu dan Hope), Crosby Stills & Nash (Suite: Judy Blue Eyes), Chicago (Byblos), Ambrosia (dua album pertama), Styx (Suite Madam Blue), Deep Purple (Child In Time), Uriah Heep (Salisbury), Kate Bush (Wuthering Heights), The Who (album Quadrophenia), dll. Diantara mereka semua yang paling sukses tentu saja Led Zeppelin dengan Stairway to Heaven (19?) serta Kashmir (19??), dan Queen dengan Bohemian Rhapsody (1975). Ketiga masterpiece tsb mengandung hampir semua persyaratan prog-nya suatu karya, sebagaimana yang dikonsensuskan. Terdiri dari beberapa part/ movement, tema yang tidak lazim (setidaknya untuk masa itu), dan yang paling digemari pendengar tentu saja, durasi yang lebih dari format lagu single.

Berlanjut ke dekade ‘80an tradisi menyelipkan satu atau dua komposisi prog ke dalam album mainstream pop/ rock masih dapat ditemukan, walaupun tidaklah sering. Saat itu genre progrock jatuh ke masa kelabu dan hampir semua band raksasa progrock berguguran. Saat itu pun genre musik disko, punk, new wave dan new romantic sedang merajai tangga lagu. Walaupun demikian masih dapat dijumpai beberapa karya progresif apik. Diantaranya yang patut mendapat perhatian adalah Rush (Subdivisions, 1983 dan Manhattan Project, 1986), Toto (Child’s Anthem, 1978, Hydra, 1980 dan Home of the Brave, 1987), Madonna (Like A Prayer, 1989), Ton Scherpenzeel (Heart of the Universe, 1985)

Memasuki dekade ‘90an masih bisa kita jumpai seperti Tears For Fears (Sowing The Seeds of Love, 1992), Madonna (Frozen, 1998), beberapa lagu Bela Fleck & the Flecktones, Queen (Innuendo, 1991), Joe Jackson, dan beberapa album Ben Folds Five. Bentuk progresivitas atau musik prog yang ditampilkan tidak berbeda jauh dengan artis non-prog di dekade ‘80an. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah sound yang lebih modern.

Bagaimana dengan pasca 2000? Sebagian artis semakin abu-abu antara bukan prog, dengan sedikit prog. Katakanlah Coldplay, Keane, Starsailor, serta RPWL. Sebenarnya ‘ke-abu-abuan’ mereka tidak perlu menjadi kekhawatiran. Dengan ketidakjelasan genre mereka, malah genre progrock lebih mudah merasuk ke jalur mainstream. Memang band-band pop/ rock ini tidak lagi secara eksplisit menyajikan musik progrock dengan bentuk sebagaimana konsensus diatas. Namun sebagian dari mereka memberikan nuansa psych dan perubahan tempo, dimana format lagu tetap berdurasi standar single.

Bagaimana dengan Indonesia? Sepanjang sejarah musik modern Indonesia, kita juga mengenal kondisi seperti diatas. Banyak musisi Indonesia yang mampu menciptakan komposisi progresif, tapi tidak pernah menyatakan diri sebagai artis/ band prog. Mereka ini kerap kita jumpai menyisipkan satu-dua lagu prog kedalam albumnya. Sebut saja Wow! (Di Batas Kemerdekaan, 1983), Symphony (Astoria dan Sepertigapuluhdua, keduanya tahun 1982), Chrisye (Percik Pesona, 1980), God Bless (dengan lagu-lagu progrock-nya yang mengundang kontroversi karena sarat plagiarisme), Fariz RM (Panggung Perak, 1981), Keenan Nasution (Negeriku Cintaku, 1978), Karimata (album Jezz, 1991), Jockie Surjoprajogo, atau Adi Adrian (Satrya, 2003).

Dengan mengenal banyaknya lagu progrock yang diciptakan artis non-prog, bisa kita ambil hikmahnya. Sebuah karya progresif dapat dilahirkan dari seorang pemusik yang tidak memproklamirkan dirinya musisi genre progressive. Anda tidak harus memproklamirkan diri sebagai musisi prog untuk menghasilkan karya progresif. Wawasan kita, sebagai penikmat, juga bertambah untuk membuka diri terhadap karya progresif diluar artis genre progressive.

Posted by :

0 comments:

Post a Comment

Radio Online